TERLALU DEWASA
“ Hai. Sudah lama nunggu?” sapa Revina.
Revina datang memakai pakaian hitam polos lengan pendek. Warna hitm itu turun sampai rok setengah betis. Ia memakai bedak. Rambutnya belah tengah disisir lurus. Di depan telinga rambut itu membelok ke belakang. Cewek abg itu menyangklong tas hitam. Di kakinya sandal bulu hitam membalut punggung kaki.
Di hadapannya duduk seorang cowok berjaket kulit coklat dan jins. Dia bernama Johan. Johan duduk di kursi putih bersandaran dan berpegangan. Ia menghadap meja lingkaran putih. Di tengah meja ad tinag besi berkilau menjulang menopang payung besar. payung itu terbuka lebr menaungi cowok di bawahnya.
“ Ada apa, Say? Mau jalan bareng?” tanya Revina.
“ Duduklah.” Kta Johan. mukanya kelihatan tidak senang. Revina duduk di sampingnya mencondongkn tubuhnya ke depan.
“ Aku mau ngomong sesuatu sama kamu dan ini tidak bagus. Sebelumnya aku minta maaf dulu.”
“ Apa?”
“ Kita putus ya?”
Revina terpana, lalu tertawa,” ah, kamu pasti bohong. Kamu bercanda kan? Nggak mungkin kita putus. Kita kan lagi nggak ada masalah apa-apa?”
“ Ini serius!” ujar Johan.
Cahaya di muka Revina memudar,”ke,kenapa?”
“ Kau tahu, Rev? Kau itu seperti ibu-ibu. Kau itu terlalu dewasa, nggak kayak abg. Lihat paiakaian kamu, penampilan kamu, tas kamu. Semua nggak abg sama sekali. Aku kalao jalan sama kamu dikira sama kakakku atau tanteku.”
Johan memperhatikan Revina. Cewek itu sedikit lebih tinggi darinya. Cewek itu tak bersuara.
“ Dan lagi. Selama ini kau terlalu serius. Kau terlalu banyak mikir. Aku nggak bisa becand atau galau becanda, becandaanmu garing. Aku jadi nggak tahu ngomongin apa sama kamu. Ngobrolin apa enaknya waktu jalan bareng.
Kau juga terlalu penkut. Kau nggak mau mencoba hal baru. Selalu itu-itu saja. Di rumah, di sekolah, di taman. Nggak pernah mau ke karaoke, disko, klub.”
“ Kupikir kau dulu orangnya asyik diajak ngobrol, ternyata nggak. Aku bener-bener kecewa sama kamu.”
Air mata Revina sudah mengalir dihujat habis-habisan. Ia tak bisa membantah apa-apa lagi karena semua memang benar. Ia pun tak mau membalas menghujat atau marah karena cinta adalah mau mendengarkan walau menyakitkan. Yang penting bersatu.
“ Lalu aku harus gimana?” tanya Revina.
“ Sebaiknya kita putus. Aku harus pergi.” Jawab Johan. ia bangkit dan berjalan menjauh.
“ Johan, jangan pergi! Aku masih pingin sama kamu.”
Johan terus saja berjalan menuju tempat parkir motornya. Ia menaikinya dan mengecil ke cakarwala sampai tak terlihat.
Revina menunduk, menangis di kursi kafe. Ia tutup mukanya meletakkan kepalanya di meja ditutupi lengan kirinya. Tangan kanannya mengambil tisu di tas mengusapinya. Ia cukup lama di sana sampai matahari oleng 2/3 langit barat. Orang-orang tak memperhatikan.
“ Kau harus kembali, Han. Kita harus balikan. Dalam kamusku tak da pacar kedua atau seterusny. Aku nggak mau kehilangan kamu. Kita harus selalu bersama.”
Revina bangkit dari kursi lalu pergi mengambil motornya. Ia sholat ashar di mushola terdekat lalu pergi ke warnet. Di warnet ia mencari cara balikan sama mantan pacar. Ia menemukan sebuah situs remaja dan tip balikan sama mantan. Tipsnya:
Jangan terlalu mengejar-ngejar.
Jagalah diri untuk meraskan kesendirian dan kerinduan. Ini berguna untuk menambah cinta. Kalau dia beneran cinta dia akan minta balik. Ini berguna untuk menilai kesetiaan cinta.
Jangan gengsi
Ubah diri sendiri menjadi lebih baik.
Perbanyak prestasi
Revina mencatatnya lalu pulang.
“ Kamu kenapa, Na?” tanya Citra Khawarizmi, teman sebangku Revina diikuti Wika dan Silvia. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Teman-teman yang lain juga melongo.
Revina menata rmbutnya berponi memakai topi sport baseball. Rambut belakangnya diikat dengan tali merah. Ia memakai jaket merah berlengan putih. ia memakai tas lingkaran. Ia memakai kalung mario bros. Dan ia memakai softlens warna biru. Semua orang terpana melihat mata biru itu. Tak bisa berkedip.
“ Na, kamu masih waras kan?” tanya Citra berbisik di dalam pelajaran.
“ Tenang aja. Nggak apa-apa kok.”
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, Wika, Silvia dan Citra ke kantin.
“ Aku ke perpus dulu ya?” sapa Revina.
“ Mau apa? Nggak ada PR kan?” tanya Silvia.
“ Mau baca-baca.”
Teman-temannya makin aneh. Biasanya Revina ikut ke kantin. Dia baca buku pas di rumah. Sekarang malah nggak ke kantin. Mereka memutuskan untuk mengikuti Revina diam-diam. Dan yang mereka liat lebih aneh lagi.
Revina mengambil buku-buku humor. Ia membaca dan ketawa terpingkal-pingkal. Sendirian lagi.
“ Bener. Revina jadi aneh. Kesurupan setan apa ya?” bisik Silvia.
“ Atau kesambet cowok atau jin, wewe, pocong?” tambah Wika.
“ Udah. Nanti biar aku tanyain.” Ujar Citra. Mereka meninggalkan Revina.
Revina mencatat humor-humor pling gokil. Sms paling lucu, unik, kreatif dan orisinil juga ia catat. Lalu ia kirimkan sms ke teman-teman. Sebagian ketawa-ketawa sebagian geleng-geleng. Yang ngirim sodron.
“ Kamu kenapa sih, Na?” tanya Citra nggak tahan lagi.
“ Nggak apa-apa.”
“ Jawab yang bener! Kamu bener-bener berubah. Nggak kayak biasanya. Jadi aneh kayak gini.”
Hati Revina tertusuk. Ia menghentikan ekspresi centilnya lalu berbicara pelan,” Aku sedang berusaha balikan sama Johan. kamu tau kan siapa Johan?”
Citra mengangguk.
“ Dia nggak suka aku yang dewasa. Dia suka cewek yang abg. Jadi aku harus ganti diriku jadi cewek yang dia suka.”
“ Ribet banget. Kenapa nggak langsung aja minta balikan? Kayak Runa gitu.”
“ Kamu udah liat kan apa akibatnya dari cara Runa? Endingnya bakal kayak gitu.”
“ Bisa jadi beda.”
“Nggak. Aku nggak mau ngejar-ngejar kayak Runa. Nanti bisa gagal. Malu-maluin dan jatuhin harga diri aku. Cewek harus punya harga diri. Jangan jadi cewek murahan. Lagian..”
“ Lagian apa?”
“ Aku malu ketemu dia langsung dan bilang gitu.”
“ Jadi kamu mau berubah terus kayak gini?”
“Apa boleh buat.”
Citra menghela napas,” Caramu ribet.”
“ 2 minggu lagi. Kau kan melihatku berbeda dan kau akan kembali kepadaku.” Ujar Revina menatap foto johan di kamar sepulang sekolah.
Foto Johan itu dijepit di gambar kalender di atas angka-angka. Wajah Johan itu seperti Justin Timberlake. Menurutnya sih. Menurut orang? Tauk! Itu yang membuat cewek ini jatuh hati dan tergila-gila. Tambahan lagi cewek ini memgang prinsip cinta adalah kesetiaan dan pengorbanan.
Revina menyilang angka dua baris di bawah angka kalender hari ini.
“ Sampai saat itu aku akan berusaha jadi cewek yang berprestasi buat kamu, Han.”
Sambil menunggu Revina melakukan banyak hal. Ia rajin belajar, aktif di PMR, bergaul dengan banyak anak baru. Ia berkunjung ke rumah mereka. Ia menjelajah tempat-tempat baru dan mencoba masuk klub malam, bilyaran dan lain-lain.
Tapi meskipun sudah sampai segitu banyak, tetap tak ada sms atau telpon dari Johan. Johan tidak datang berkunjung atau apa. Dia tidak kelihatan di sekolah. Revina harus menjaga hati agar tidak deg-degan dan berlari menuju kelas Johan. kaki ini harus dipaku agar tidak mencari-cari mantan pujaan hati ini, target operasi ini.
“ Kok belum telpon-telpon juga sih? Ayo dong. Hubungi aku. Minimal ketemu aja.” Pinta Revina.
Malamnya ia sholat tahajud minta diketemuin sama Johan. tapi ia Cuma bisa minta dan berharap. Soal dikabulkan atau tidak itu urusan Alloh. Ia tak bisa ikhtiar mencari karena posisi cewek dalah didatangi bukan mendatangi.
Pas jam istirahat Revina duduk di kantin juga memandangi koridor utara. Kelas Johan di utara. Kalau mau ke kantin pasti lewat koridor itu.
“ Ayo makan, Na.” Ajak Silvia.
“ Iya bentar.”
“ Nunggu itu boleh sambil makan lo.”
“ Bentar.”
“ Bentar lagi masuk.”
Revina melihat jam di atas pintu perpustakaan yang berada di sebelah barat kantin pas. Istilahnya di samping. Tinggal lima menit. Ya sudah makan deh.
“ Nah, gitu dong. Makan bareng sama kita-kita. Nungguin apa sih?” sorak Silvi senang melihat Silvia beli roti goreng juga.
Mereka makan bersama. Silvia mendesah. Ya sudah nggak papa deh nggak terkabul. Mungkin balasannya dia akan terhindar dai bencana atau kelak di balas di akhirat.
Berikutnya pelajaran berlnjut sampai siang. Revina cemberut aja. Malas ngelakuin apa-apa. Liat papan isinya rumus nggak jelas. Liat buku, keliatan deretan bosenin. Sampai pulang sekolah ia mengantuk-ngantuk. Angguk-angguk. Geleng-geleng. Nunduk-nunduk. Iyuk-iyuk.
Waktu pulang anak-anak berhamburan keluar. Wika, Silvi dan Citra juga sudah pergi duluan. Tanpa semangat. Revina pulang belakangan itu pulang belakangan. Ia memanggul tas dengan gontai. Ia menyeret-nyeret langkah keluar kelas. Di pintu ia dicegat.
“ Aku sudah tahu semuanya, Na.”
“ Johan? kamu kembali?” Revina hendak memeluk Johan, tapi Johan mundur. Menghindar.
Johan duduk di bangku marmer. Revina duduk di sampingnya.
“ Kamu udah berubah.”
Revina menutup mulut agar tidak bilang,”semua demi kamu.”
“ Kamu sekarang berbeda. Kamu pake jaket, topi, ikat rambut. Waktu keluar kamu juga pake jins.”
“ Terus?” tanya Revina. Hatinya harus menahan dua kata: mau balikan?
“ Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“ Apa?” dada Revina mengebu-gebu mengharap kata: ayo balikan.
“ Kasihan.”
“Ha?”
“ Kamu bilang apa tadi?”
“ Kasihan. Kamu berubah sebanyak ini demi aku.”
“ Siapa bilang? Enak aja. Jangan sok tahu ya?”
“ Teman-temanmu yang bilang. Dari Citra, Silvia dan Wika. Mereka semua bilang kamu berubah demi aku.”
“ Kok mereka bilang sih?” protes Revina.
“ Malah bagus. Makanya aku tahu kamu bener-bener berusaha buat aku.”
“ Jadi?”
“ Sori. tetep nggak bisa?”
“ Kok nggak bisa? Maumu apa sih? Aku jadi dewasa salah jadi abg salah. Apa aku harus jadi anak kecil? Atau nenek-nenek sekalian?” akhirnya semua terbongkar. Tak tahan lagi dipermainkan jadi serba salah begini.
“ Ini demi keselamatanmu. Masa depanmu.”
“Keselamatanku? Masa depanku? Apa maksudnya?”
Johan mendekat ke telinga kiri Revina berbisik,” Aku udah nggak jaka.”
“ Apa?”
“ Ya. Aku sudah selingkuh sama cewek lain dan sudah ‘main’.” Aku Johan.
“ Kok kamu gitu sih? Tau nggak sih kau aku sayang sekali ama kau. Kau malah begini.” Revina memukuli Johan.
“ Makanya aku putusin kamu. Biar kamu slamet. Biar kamu nggak kena nafsuku. Aku lihat kamu itu terlalu baik. Terlalu dewasa, terlalu cerdas dan baik buat jadi korbanku. Makanya aku jauhin kamu. Begitu caraku nunjukin rasa sayangku sama kamu.”
“Oh..”
“ Jadi sekarang kita temenan aja ya?” tawar Johan.
“ Oke deh…”
Mereka berjalan bersama pulang dari sekolh tanpa pegangan tangan.